Webmail |  Berita |  Agenda |  Pengumuman |  Artikel |  Video

Hidup Bertoleransi dalam Kebhineka Tunggal Ikaan

31 Juli 2017
13:46:51 WIB

Toleransi menjadi jembatan bagi keberagaman dalam rangka meminimalisir konflik perbedaan-perbedaan dan menciptakan kebersamaan. Prof. Sumanto Al Qurtubi mengamati bahwa masyarakat Indonesia mudah sekali terpesona, sehingga tidak heran apabila Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor ormas paling banyak di dunia. Masyarakat mudah terhipnotis dan menaruh simpati terhadap hal-hal dari luar (ormas, budaya, tontonan, dll). Kondisi tersebut di satu sisi menjadi potensi, namun pada sisi lain menjadi kelemahan karena masyarakat kurang berpikir jernih dan mudah terperangkap pada pengaruh-pengaruh dari luar. Terlalu mudahnya masyarakat terpesona terhadap kebudayaan dari luar, maka Indonesia mudah sekali dijajah oleh kelompok-kelompok asing, bukan dijajah secara politik tetapi secara budaya. Masyarakat Indonesia ada kecenderungan salah mempersepsikan apa yang terjadi di luar, masalah budaya dianggap sebagai masalah keagamaan, masalah politik dianggap sebagai masalah perang agama, dll.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat majemuk. Kenyataannya bahwa semakin beragam sebuah masyarakat itu, maka semakin sulit mengatur organisasi masyarakat atau mengelola keberagaman. Sebagai anthropolog, Prof. Sumanto, menilai bahwa perbedaan itu tidak masalah tetapi yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengerti atau memahami orang lain dari perspektif orang lain tersebut. Prinsipnya, silakan  mengekspresikan keagamaan, silakan mengekspresikan keberagaman, tetapi rawatlah keberagaman itu dalam bingkai saling menghormati, saling menghargai, saling toleran satu sama lain. Dalam rangka menciptakan kebersamaan, ciptakan ruang-ruang pertemuan yang membuat masalah besar menjadi kecil.

Menurut Pdt. Paulus Hartono, M.Min., adanya konflik agama di Indonesia, terutama antara Islam dan Kristen, dilatarbelakangi antara lain oleh adanya sejarah kecurigaan antara kedua agama tersebut, adanya gerekan radikalisme global, dan aspek politis Islamisasi dan Kristenisasi. Untuk mengatasi konflik tersebut diperlukan dialog yang riil dan jujur antar pemeluk agama. Dialog yang dimaksudkan adalah keterlibatan secara aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah kesenjangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Umat beragama harus berperanserta nyata dalam kegiatan pengentasan kemiskinan, kegiatan kemanusiaan dengan semangat perdamaian, dan memberi ruang untuk saling berbicara dan mendengarkan pemahaman masing-masing.

Menurut Ustadz Al Munawar (PCNU Surakarta) kebersamaan dalam keberagaman tersebut harus dirawat dengan cara saling mengenal, saling memahami, saling menghormati, dan saling tolong menolong satu sama lainnya. Pdt. Dr. Daniel Sutoyo, M.Th. (Ketua STT Intheos Surakarta) menyampaikan bahwa untuk merawat kebhineka tunggal ikaan maka Pancasila harus menjadi pedoman yang dipakai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Disarikan dari Seminar Kebangsaan yang diselenggarakan oleh BAMAG LKKI Kota Surakarta dengan tema "Hidup Bertoleransi dalam Kebhineka Tunggal Ikaan" pada tanggal 15 Juli 2017 di STT Intheos Surakarta. 

File Terbaru

Facebook Fanpage

TAUTAN EKSTERNAL